Eucheuma Cottonii adalah salah satu spesies ganggang merah yang digunakan sebagai bahan baku pembuat Carrageenan, Carrageenan sendiri merupakan bahan yang mempunyai banyak kegunaan dalam berbagai macam pembuatan produk, baik produk makanan, kecantikan maupun obat-obatan. Untuk produk makanan Carrageenan digunakan sebagai pengental, emulsifier dan beberapa fungsi lainnya.
Rumput laut Eucheuma Cottonii sebenarnya adalah tanaman endemic Philipina, karena kebutuhan rumput laut dunia tiap tahunnya meningkat maka upaya untuk mengembangkannya terus dilakukan di beberapa Negara, termasuk juga di Indonesia. Karena wilayah laut Indonesia begitu luas dan didukung minat masyarakat yang tinggi untuk membudidayakannya maka budidaya rumput laut Indonesia banyak dilakukan diberbagai daerah dan akhirnya Indonesia menjadi penghasil rumput laut terbesar di dunia dengan hasil panen mencapai 8,2 juta ton pada tahun 2013 dan pada tahun 2014 ini ditargetkan rumput laut Indonesia mencapai 10 juta ton rumput laut basah.
Di Indonesia ada 4 kelompok besar rumput yang dijadikan sebagai komoditas dan mempunyai nilai ekonomis bagi Masyarakat yaitu Eucheuma Cottonii, Gracilaria, Spinossum dan Sargassum. Dari keempat Komoditas tersebut 3 diantaranya adalah rumput laut yang dibudidayakan yaitu dari jenis E. Cottonii, Gracilaria dan Spinossum sementara Rumput laut Sargassum masih dipanen dari alam dan belum ada upaya untuk membudidayakannya.
Untuk kapasitas produksi, Eucheuma Cottonii masih menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah produksi yang dihasilkan disusul kemudian Gracilaria, Spinossum dan Sargassum. Tidak kurang dari 700 Ton rumput laut kering dihaslkan dari perairan Indonesia untuk kemudian digunakan sebagai bahan baku Industri baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Di perairan Indonesia, rumput laut Eucheuma Cottonii yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis yaitu jenis Sakul dan jenis kangkung yang mempunyai karakteristik fisik yang berbeda namun tetap mempunyai kegunaan dan kandungan zat yang sama.
1. Eucheuma Cottonii Sakul
Secara fisik Eucheuma Cottonii Sakul mempunyai struktur tubuh yang rimbun dengan percabangan yang banyak dan pendek, E. Cottonii jenis ini mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kadang tidak bersahabat seperti misalnya suhu air laut yang rendah yang dapat menyebabkan rumput laut mengalami busuk batang atau yang biasa disebut sebagai penyakit ice-ice. Rumput laut Eucheuma Cottoni jenis sakul biasanya berwarna hijau muda hingga hijau tua dengan thallus yang tidak begitu besar. E. Cottonii Sakul juga banyak disukai oleh pabrikan produsen Carrageenan karena mempunyai kandungan yield yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis lainnya. Rumput laut jenis ini mempunyai masa tanam yang lebih lama yaitu antara 50 hari hingga 60 hari baru dapat dipanen untuk menghasilkan yield standar yang dibutuhkan oleh Industri Carrageenan.
Karena mempunyai rumpun yang rimbun maka saat melakukan proses pengeringan rumput laut jenis ini memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan target kekeringan standar yaitu dengan moisturicy 35%, untuk mendapatkan tingkat kekeringan tersebut biasanya dibutuhkan waktu minimal 4 hari. Pengeringan yang dilakukan kurang dari 4 hari biasanya akan menyebabkan tingkat kekeringan tidak merata dan hanya bagian cabang terluar saja yang kering dan pada bagian dalamnya masih mempunyai kadar air yang tinggi.
Jumlah produksi E. Cottonii Sakul belum begitu banyak karena hanya dibudidayakan di beberapa daerah saja seperti di Bone, Takalar, Bantaeng, Jeneponto, Wajo, dan beberapa daerah di pulau Bali
2. Eucheuma Cottonii Kangkung
Disebut sebagai Eucheuma Cottonii kangkung karena mempunyai ciri fisik yang menyerupai tanaman kangkung, dimana rumput laut jenis ini mempunyai thallus yang panjang dengan percabangan yang tidak terlalu banyak. Jika ditanam di daerah yang masih subur rumput laut jenis ini dameter batang thallusnya bisa mencapai 1 CM hingga 2 CM atau sebesar ibu jari tangan orang dewasa. Warnanya juga bervariasi tergantung kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, rumput laut jenis Kangkung dapat tumbuh dengan warna coklat, hijau muda, kuning keemasan dan ungu.
Jangka waktu tanam idealnya adalah 45 hingga 50 hari dan mempunyai daya tahan yang kurang bagus terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Saat musim penghujan sebaiknya jangan menanam rumput laut jenis ini karena akan mudah terserang oleh penyakit ice-ice. Penyakit ini biasanya ditandai dengan busuk batang dengan warna putih menyerupai es, yang akan menyebabkan rumput laut patah dan jatuh ke dasar laut.
Proses pengeringan E.Cottonii Kangkung biasanya lebih cepat jika dibandingkan dengan jenis Sakul, dengan terik matahari normal dibutuhkan waktu 3 hari tergantung dari ukuran thallusnya, thallus yang besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan standar kekeringan yang dibutuhkan.
Dari kedua jenis di atas E. Cottonii jenis Kangkung paling banyak dibudidayakan, rata-rata petani rumput laut di Indonesia mulai dari Indonesia bagian timur hingga bagian barat lebih banyak membudidayakan jenis ini. Penyebabnya lebih dikarenakan jenis Kangkung mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan jenis sakul, bahkan kadang petani yang nakal sudah memanen rumput laut jenis kangkung pada usia tanam 25 hari, sebuah pola tanam yang harus diluruskan oleh fihak-fihak yang berkompeten dalam bidang ini.
Rumput laut Eucheuma Cottonii sebenarnya adalah tanaman endemic Philipina, karena kebutuhan rumput laut dunia tiap tahunnya meningkat maka upaya untuk mengembangkannya terus dilakukan di beberapa Negara, termasuk juga di Indonesia. Karena wilayah laut Indonesia begitu luas dan didukung minat masyarakat yang tinggi untuk membudidayakannya maka budidaya rumput laut Indonesia banyak dilakukan diberbagai daerah dan akhirnya Indonesia menjadi penghasil rumput laut terbesar di dunia dengan hasil panen mencapai 8,2 juta ton pada tahun 2013 dan pada tahun 2014 ini ditargetkan rumput laut Indonesia mencapai 10 juta ton rumput laut basah.
Di Indonesia ada 4 kelompok besar rumput yang dijadikan sebagai komoditas dan mempunyai nilai ekonomis bagi Masyarakat yaitu Eucheuma Cottonii, Gracilaria, Spinossum dan Sargassum. Dari keempat Komoditas tersebut 3 diantaranya adalah rumput laut yang dibudidayakan yaitu dari jenis E. Cottonii, Gracilaria dan Spinossum sementara Rumput laut Sargassum masih dipanen dari alam dan belum ada upaya untuk membudidayakannya.
Untuk kapasitas produksi, Eucheuma Cottonii masih menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah produksi yang dihasilkan disusul kemudian Gracilaria, Spinossum dan Sargassum. Tidak kurang dari 700 Ton rumput laut kering dihaslkan dari perairan Indonesia untuk kemudian digunakan sebagai bahan baku Industri baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Di perairan Indonesia, rumput laut Eucheuma Cottonii yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis yaitu jenis Sakul dan jenis kangkung yang mempunyai karakteristik fisik yang berbeda namun tetap mempunyai kegunaan dan kandungan zat yang sama.
1. Eucheuma Cottonii Sakul
Secara fisik Eucheuma Cottonii Sakul mempunyai struktur tubuh yang rimbun dengan percabangan yang banyak dan pendek, E. Cottonii jenis ini mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kadang tidak bersahabat seperti misalnya suhu air laut yang rendah yang dapat menyebabkan rumput laut mengalami busuk batang atau yang biasa disebut sebagai penyakit ice-ice. Rumput laut Eucheuma Cottoni jenis sakul biasanya berwarna hijau muda hingga hijau tua dengan thallus yang tidak begitu besar. E. Cottonii Sakul juga banyak disukai oleh pabrikan produsen Carrageenan karena mempunyai kandungan yield yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis lainnya. Rumput laut jenis ini mempunyai masa tanam yang lebih lama yaitu antara 50 hari hingga 60 hari baru dapat dipanen untuk menghasilkan yield standar yang dibutuhkan oleh Industri Carrageenan.
Eucheuma Cottonii Sakul |
Jumlah produksi E. Cottonii Sakul belum begitu banyak karena hanya dibudidayakan di beberapa daerah saja seperti di Bone, Takalar, Bantaeng, Jeneponto, Wajo, dan beberapa daerah di pulau Bali
2. Eucheuma Cottonii Kangkung
Disebut sebagai Eucheuma Cottonii kangkung karena mempunyai ciri fisik yang menyerupai tanaman kangkung, dimana rumput laut jenis ini mempunyai thallus yang panjang dengan percabangan yang tidak terlalu banyak. Jika ditanam di daerah yang masih subur rumput laut jenis ini dameter batang thallusnya bisa mencapai 1 CM hingga 2 CM atau sebesar ibu jari tangan orang dewasa. Warnanya juga bervariasi tergantung kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, rumput laut jenis Kangkung dapat tumbuh dengan warna coklat, hijau muda, kuning keemasan dan ungu.
Eucheuma Cottonii Kangkung, mempunyai thallus panjang |
Eucheuma Cottonii Kangkung, thallusnya bisa sebesar ibu jari tangan orang dewasa |
Proses pengeringan E.Cottonii Kangkung biasanya lebih cepat jika dibandingkan dengan jenis Sakul, dengan terik matahari normal dibutuhkan waktu 3 hari tergantung dari ukuran thallusnya, thallus yang besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan standar kekeringan yang dibutuhkan.
Dari kedua jenis di atas E. Cottonii jenis Kangkung paling banyak dibudidayakan, rata-rata petani rumput laut di Indonesia mulai dari Indonesia bagian timur hingga bagian barat lebih banyak membudidayakan jenis ini. Penyebabnya lebih dikarenakan jenis Kangkung mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan jenis sakul, bahkan kadang petani yang nakal sudah memanen rumput laut jenis kangkung pada usia tanam 25 hari, sebuah pola tanam yang harus diluruskan oleh fihak-fihak yang berkompeten dalam bidang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar